Equity World | Pasar Asia Pasifik Naik Tipis Setelah Wall Street Menguat Semalam
Equity World | Saham di Asia Pasifik beringsut lebih tinggi dengan kenaikan tipis pada pembukaan perdagangan Rabu (19/10), setelah kenaikan hari kedua di indeks utama Wall Street Amerika Serikat (AS).
Equity World | Wall Street Dibuka Rebound Lagi Nih, Bakal Bertahan Lama?
Nikkei 225 di Jepang bertambah 0,42% dan Topix naik 0,3%. Yen Jepang tetap di atas level 149 terhadap dolar AS. Kospi Korea Selatan berdetak 0,14% lebih tinggi dan Kosdaq naik 0,43%.
Di Australia, S&P/ ASX 200 naik 0,32. Indeks MSCI dari saham Asia Pasifik di luar Jepang sedikit lebih tinggi.
Bursa dan Kliring Hong Kong akan melaporkan pendapatan hari ini. Sementara Kepala Eksekutif Hong Kong John Lee akan memberikan pidato kebijakan pertamanya. Pemerintah Tiongkok akan merilis data harga rumah pada Rabu, tetapi rilis tersebut telah ditunda.
Di Jakarta, Bank Indonesia memulai rapat dewan gubernur selama dua hari pada Rabu.
Semalam di AS, laporan pendapatan perusahaan yang kuat memicu kenaikan saham untuk sesi kedua. Dow Jones Industrial Average bertambah 337,98 poin, atau 1,12%, menjadi ditutup pada 30.523,80. S&P 500 naik 1,14% menjadi 3.719,98. Nasdaq Composite naik 0,90%, berakhir di 10.772,40.
"Ekuitas menguat untuk hari kedua dalam sesi yang agak berombak, karena investor menimbang prospek pendapatan terhadap kenaikan suku bunga," tulis analis ANZ Research dalam catatan Rabu.
Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik sekitar US$ 1 per barel atau 1,33%, sedangkan minyak mentah berjangka Brent naik US$ 0,83 per barel atau 0,92%. Ini dipicu pengumuman bahwa pemerintahan Presiden AS Joe Biden diperkirakan akan melepaskan lebih banyak minyak dari Cadangan Minyak Strategis (SPR).
Rencana tersebut dapat diumumkan Rabu, kata sumber, dilansir dari CNBC.
Langkah ini bertujuan untuk memperpanjang program pengiriman SPR saat ini, yang dimulai musim semi ini hingga Desember 2022, kata sumber tersebut.
Rencana Bank Sentral Selandia Baru
Ekonom di ANZ memperkirakan bank sentral Selandia Baru (RBNZ) akan memberikan kenaikan masing-masing 75 basis poin (bps) pada pertemuan mendatang November 2022 dan Februari 2023.
Bank sentral itu akan menaikkan suku bunga sebesar 50 bps menjadi 3,5% awal bulan ini, membawa suku bunga ke level tertinggi tujuh tahun.
ANZ mengatakan bank sentral Australia (RBA) kemungkinan akan mengambil jalan yang lebih konservatif daripada RBNZ. Bank ini diperkirakan akan menghasilkan perbedaan kebijakan yang jauh lebih luas ke depan, pada 2023.
Pertemuan kebijakan moneter RBNZ berikutnya dijadwalkan berlangsung pada 23 November 2022.
Saham Apple Jatuh
Saham Apple turun dan sempat berubah negatif setelah laporan dari The Information bahwa raksasa teknologi itu memangkas produksi iPhone 14 Plus barunya.
Langkah Apple, saham AS terbesar, membawa rata-rata indeks utama kembali mendekati posisi terendah hari ini, meskipun sejak itu mereka telah memulihkan sebagian dari penurunan itu.
Seberapa Tinggi Fed Mendorong Yield 10 Tahun AS
Federal Reserve (The Fed) secara luas diperkirakan akan menaikkan tiga perempat poin persentase atau 75 basis poin (bps) bulan depan. Tetapi bank sentral mungkin mencapai batasnya untuk mendikte suku bunga jangka panjang, menurut Jim Paulsen dari The Leuthold Group.
"Ada preseden yang cukup besar dalam siklus pengetatan masa lalu bagi Fed untuk ditutup oleh pasar obligasi yang 'berkedip' terlebih dahulu. The Fed mungkin akan segera mencoba menaikkan suku bunga menjadi 4%, 4,5%, atau bahkan 5%. Tetapi pada titik tertentu, obligasi jangka panjang mungkin berhenti naik dan menolak untuk mengikuti jejak The Fed," tulis Paulsen dalam catatan kepada klien pada Selasa (18/10).
Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS Treasury tenor 10 tahun telah diperdagangkan di atas 4% dalam beberapa hari terakhir, mencapai level tertinggi dalam lebih dari satu dekade. Dengan meningkatnya kekhawatiran tentang resesi pada 2023, yield itu mungkin mendekati batas, kata Paulsen.
"Setiap kali The Fed semakin memperketat kebijakan moneter, ketakutan resesi meningkat relatif terhadap ketakutan inflasi. Pada akhirnya, ketika The Fed menjadi semakin agresif, resesi menjadi kekhawatiran yang lebih besar daripada inflasi, dan pembeli obligasi mulai melebihi jumlah penjual obligasi, yaitu, pasar obligasi 'berkedip'," tambah Paulsen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar