Equity World | Sempat ke Bawah Rp 14.700/US$, Rupiah Batal Menguat! Kenapa?
Equity World | Rupiah berakhir stagnan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (11/5/2023). Data inflasi Amerika Serikat yang terus melandai sebenarnya membuat rupiah menguat di awal perdagangan, hingga menyentuh Rp 14.690/US$.
Equity World | Harga emas masih kembali melemah setelah dolar Amerika Serikat (AS) perkasa lagi.
Namun, penguatan terus terpangkas hingga berbalik melemah sebelum berakhir stagnan di Rp 14.720/US$, melansir data Refinitiv.
Inflasi di Amerika Serikat (AS) yang terus menunjukkan penurunan membuat ekspektasi kenaikan suku bunga pada bulan depan kembali meredup. Alhasil rupiah langsung menguat melawan dolar AS pagi ini.
Begitu perdagangan Kamis (11/5/2023) dibuka, rupiah langsung menguat 0,14% ke Rp 14.700/US$, melansir data Refinitiv.
Inflasi pada April dilaporkan tumbuh 4,9% year-on-year (yoy) lebih rendah dari ekspektasi ekonom sebesar 5%. Inflasi inti yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan dalam perhitungan tumbuh 5,5%, lebih rendah dari bulan sebelumnya 5,6% tetapi sesuai ekspektasi.
Rilis data tersebut membuat ekspektasi kenaikan suku bunga The Fed pada bulan depan menurun. Data terbaru dari perangkat FedWatch milik CME Group menunjukkan pelaku pasar kini melihat probabilitas sebesar 9% The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% - 5,5% pada 14/15 Juni mendatang.
Probabilitas tersebut menurun drastis ketimbang sebelum rilis data inflasi, sebesar 21%.
Analis pasar senior Oanda, Ed Moya mengatakan ke depannya inflasi masih akan terus menurun, tetapi untuk mencapai 2% akan cukup sulit.
"Inflasi seharusnya terus menurun dalam beberapa bulan ke depan, tetapi untuk mencapai 2% lagi akan cukup sulit melihat pasar tenaga kerja yang kuat," kata Moya sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (11/5/2023)
Pada Jumat malam lalu, Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan sepanjang April perekonomian Amerika Serikat mampu menyerap 253.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls). Angka tersebut jauh lebih tinggi dari estimasi Wall Street sebanyak 180.000 orang.
Tingkat pengangguran turun menjadi 3,4% dari bulan sebelumnya 3,5%. Padahal, Wall Street memproyeksikan naik menjadi 3,6%. Tingkat pengangguran 3,4% ini menyamai rekor terendah sejak 1969.
Kemudian rata-rata upah per jam naik 0,5%month-to-month, lebih tinggi dari ekspektasi 0,3% sekaligus tertinggi dalam satu tahun terakhir. Secara year-on-year, rata-rata upah tersebut naik 4,4% juga lebih tinggi dari ekspektasi 4,2%.
Dalam kondisi normal, pasar tenaga kerja yang kuat dengan rata-rata upah yang tinggi tentunya menjadi kabar baik. Tetapi, dalam kondisi "perang" melawan inflasi hal itu menjadi buruk bahkan bisa sangat buruk.
Rata-rata upah per jam yang masih naik tinggi tentunya membuat daya beli masyarakat tetap kuat. Alhasil, inflasi menjadi sulit turun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar