Equity World | Wall Street Ambruk Lagi! IHSG Kemarin Ngeri, Hari Ini Angker
Equity World | Setelah libur panjang hari raya Idulfitri 2022, pasar keuangan dalam negeri kompak ditutup dengan koreksi tajam pada perdagangan Senin (9/5/2022).
Equity World | Bursa Eropa Hilang 2,8% Imbas Saham Perjalanan dan Teknologi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi tajam 4,4% dan ditutup di level 6.909,75. Koreksi yang terjadi merupakan penurunan terbesar sejak 16 Maret 2020 saat awal-awal Covid-19 merebak.
IHSG pun kembali ke level terendah sejak 10 Maret 2022. Bersamaan dengan koreksi IHSG, asing juga net sell jumbo di pasar saham senilai Rp 2,6 triliun.
Nasib serupa juga dialami di pasar obligasi pemerintah. Imbal hasil (yield) SUN 10 tahun naik tembus 7,17% atau naik 13 basis poin (bps) dari penutupan sebelum liburan hari raya lebaran.
Kenaikan yield menjadi bukti bahwa harga obligasi pemerintah mengalami koreksi. Penurunan harga obligasi juga dapat menjadi pertanda kalau investor pun melepas surat utang negara.
Tren yang terjadi di sepanjang tahun ini, investor asing cenderung melepas kepemilikannya di SBN berdenominasi rupiah yang membuat yield meningkat dan sekarang berada di level tertinggi lebih dari satu tahun.
Adanya outflow yang mengalir deras dari pasar keuangan domestik juga membuat nilai tukar rupiah tertekan. Di pasar spot, rupiah melemah 0,41% di hadapan dolar AS dan ditutup di Rp 14.555/US$.
Nasib rupiah juga tak jauh berbeda dengan SUN. Kini mata uang Garuda berada di level terlemahnya lebih dari satu tahun terakhir.
Salah satu pemicunya adalah sentimen eksternal terutama dari kebijakan moneter global. Saat pasar keuangan dalam negeri liburan, ada beberapa bank sentral yang menaikkan suku bunga acuannya.
Pertama adalah bank sentral AS the Fed yang menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) dan kedua ada bank sentral Inggris (BoE) yang menaikkan 25 bps.
Pengetatan moneter membuat aset-aset keuangan dalam negeri dilepas oleh asing. Di sisi lain inflasi bulan April 2022 juga naik 3,47% secara tahunan.
Angka inflasi riil bulan lalu lebih tinggi dari perkiraan konsensus CNBC Indonesia di 3,4%. Kemudian BPS juga merilis data ekonomi lain yaitu pertumbuhan ekonomi.
BPS melaporkan ekonomi Indonesia tumbuh 5,01% di kuartal I-2022 atau sedikit lebih rendah dari perkiraan konsensus ekonom di 5,05%.
Namun data ini tak mampu untuk membuat aset keuangan domestik yang jet lag pasca liburan bertahan dari gempuran jual investor
Tekanan jual juga terus berlanjut di pasar saham AS. Di awal-awal perdagangan, tiga indeks saham acuan Wall Street anjlok lebih dari 2%.
Indeks Nasdaq Composite yang berisikan saham-saham teknologi terkoreksi paling parah hingga 4,29%. Sementara S&P 500 terkoreksi 3,2% dan Dow Ambruk 1,99%.
Sementara itu di saat yang sama, yield obligasi pemerintah AS 10 tahun juga merangkak naik ke level 3,18%.
Semua ini pemicunya lagi-lagi bermuara pada kebijakan moneter AS. Bank sentral Paman Sam The Fed pekan lalu menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 bps.
Kini target suku bunga AS berada di kisaran 0,75-1,00%. Kenaikan drastis suku bunga acuan membuat yield surat utang pemerintahnya naik signifikan.
Ketika yield naik berarti harga obligasi sedang tertekan. Investor cenderung memilih aset-aset dengan durasi pendek dan melepas aset dengan horison investasi jangka panjang.
Hal inilah yang memicu saham-saham teknologi babak belur di sepanjang tahun 2022 ini. Pelaku pasar pun memperkirakan volatilitas masih akan berlangsung.
"Kami perkirakan pasar masih akan bergerak volatil dengan kecenderungan adanya downside risk seiring dengan risiko stagflasi yang meningkat" tulis Maneesh Despande dari Barclays sebagaimana diwartakan CNBC International.
Sebagai informasi stagflasi adalah kondisi ketika perekonomian suatu negara mengalami inflasi dan tingkat pengangguran yang tinggi dan dibarengi dengan ekonomi yang melambat dan adanya resesi.
Stagflasi pernah terjadi di tahun 1970-an. Pemicu stagflasi kala itu juga sama yaitu harga minyak dan energi yang melambung karena tensi geopolitik yang meningkat.
Secara teknikal, pasar saham AS juga dinilai belum mencapai titik terendahnya (bottom). Hal ini diungkapkan oleh JC'O Hara dari MKM Partners, melansir CNBC International.
"Kami pikir harga saham masih berpotensi untuk terus turun karena kami belum melihat cukup bukti indikator teknikal yang menunjukkan proses bottoming dimulai. Profil volume juga belum oversold" tulis JC'O Hara.
Kabar buruk yang terus membayangi dari Barat terkait inflasi yang dikhawatirkan memicu stagflasi ditambah konflik geopolitik yang makin meluas dengan berbagai sanksi ekonomi bisa memantik aksi jual besar-besaran di pasar keuangan.
Aset-aset berisiko seperti saham akan tertekan. Apalagi aset-aset di negara berkembang seperti di Indonesia. Risiko outflow makin terlihat.
Inflasi di Tanah Air yang sudah mencapai tingkat tertingginya sejak Agustus 2019, juga menjadi tanda kalau tidak lama lagi kemungkinan BI akan mengambil sikap dengan menaikkan suku bunga acuan agar menjaga pasar keuangan tetap menarik dan tentunya berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah.
Sentimen lain yang juga patut dicermati adalah bahwa tekanan jual di pasar saham dan obligasi sangatlah besar kemarin.
Pasar saham Tanah Air sudah menguat signifikan sepanjang 2022. Mungkin ini juga menjadi saat investor terutama asing merealisasikan keuntungannya dan kembali ke kampung halaman yang lebih aman.
Memang faktor positifnya adalah ekonomi Indonesia saat ini lebih kuat dengan adanya kenaikan harga komoditas (commodity boom).
Namun tetap saja, risiko outflow masih terbuka lebar apalagi dari pasar saham yang di sepanjang tahun ini kebanjiran dana asing cukup jumbo.
Data perdagangan mencatat, secara year to date (ytd) asing net buy saham di pasar reguler senilai Rp 57,02 triliun.
Belum lagi secara historis, kinerja IHSG di bulan Mei juga cenderung kurang mengesankan. Meskipun ungkapan Sell in May and Go Away tak sepenuhanya relevan, tetapi data historis cenderung menunjukkan adanya probabilitas yang tinggi IHSG mengalami koreksi di bulan Mei.
Secara historis sejak tahun 2011-2021, rata-rata return bulanan IHSG memang minus 0,68% di bulan kelima. Probabilitas IHSG melemah di bulan Mei juga terbilang cukup tinggi yaitu sebesar 45%.
Melihat kondisi historis, ketidakpastian seputar perkembangan perang Rusia-Ukraina hingga inflasi yang terus membayangi dan arah suku bunga acuan yang semakin naik ke depan. Bisa jadi ini pertanda bahwa investor harus lebih berhati-hati dalam mengelola portofolionya.
Pasar obligasi dan saham boleh jadi bersahabat di tahun 2021. Namun bukan berarti kondisi tersebut akan langgeng karena pergerakan pasar juga dipengaruhi oleh siklus perekonomian.
Untuk hari ini peluang IHSG, SUN dan rupiah melemah bagaimanapun juga masih terbuka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar